Rabu, 17 Desember 2014

Dibalik Cerita Telaga Suci

1483 diyakini sebagai angka keramat oleh masyarakat Desa Suci. tanpa angka keramat itu, mungkin Desa Suci tak seramai sekarang. Munculnya nama Suci tidak jauh dari angka keramat tersebut.

Berawal dari sebuah perintah Sunan Giri kepada Syeikh Jamaluddin Malik yang masih kerabat dekatnya sekaligus muridnya. Konon ia diperintahkan oleh Sunan Giri untuk menyebarkan agama islam ke Barat Kota Gersik. Dengan niat tulus, sekitar pada tahun 1483 beliau berangkat ke tempat tujuan. Dalam mengemban tugas mulia tersebut, tidak jarang di perjalanan syeih Jamaluddin Maik mendapat beberapa rintangan yang tidak mudah dihadapinya, yaitu termasuk kondisi sosial dan cuaca alam yang tidak mendukung untuk seorang perantauan.

Sesampai ditempat tujuan, ia tinggal di Kampung Polaman, salah satu kampung yang ada di barat Kota Gersik. Setelah mengenal dan memahami kondisi sosial masyarakat setempat, ia mulai mendirikan sebuah Masjid sebagai tempat beribadah dan tempat untuk mengajarkan ilmu agama kepada masyarakat. Setelah Masjid selesai dibangun, Syeikh Jamaluddin Malik membuat sumur untuk kebutuhan bersesuci dan lainnya. Berkat karomah yang dimilikinya, air pun dengan mudah menyembur deras. Dari saking derasnya, air mengalir kemana-mana. Melihat air yang begitu banyak, masyarakat sekitar berbondong-bondong datang ke Masjid guna untuk memanfaatkan sumber air tersebut.

Berawal dari itulah, nama sumur itu diabadikan oleh penduduk sekitar, dengan diberi nama Sumur Gede yang berarti Sumur Besar walaupun ukurannya tidak jauh berbeda dengan sumur pada umumnya. Tapi karena besar manfaatnya, maka sumur tersebut diberi namai Sumur Gede. Di sebelah Sumur tersebut, terdapat pohon asam yang tinggi menjulang. Karena buah asam itu manis, maka nama pohon asam itu, diabadikan oleh masyarakat menjadi nama kampung, yaitu kampung Asemanis.


Karena di Desa Asemanis semakin hari semakin ramai, maka kebutuhan kepada air secara otomatis semakin bertambah, sementara persediaan air yang ada semakin menipis. Tak lama kemudian, Syeih Jamaluddin menemui Sunan Giri untuk berkonsultasi bagaimana cara mengatasi problem yang dihadapi masyarakat itu. Melalui petunjuk Sunan Giri ia menelusuri lereng bukit yang ada disebelah utara kampong polaman. Di sela-sela pohon yang rimbun Syeikh Jamaluddin menemukan sumber air yang jernih dan besar. Air tersebut cukup dipakai untuk bersuci menurut ketentuan agama sehingga akhirnya tempat itu dinamakan Desa Suci.

Setelah ditemukannya air tersebut, maka Masjid yang dibangun di Kampung Polaman atau Asemanis, dipindah ketempat dimana air itu ditemukan atas saran Sunan Giri. Selanjutnya, Masjid itu diberi nama Raudhatus Salam tepatnya di depan sumber air suci yang ditemukan Syeh Jamaluddin Malik. Karena kualitas dan uniknya, maka sumber air suci itu, disebut telaga suci oleh masyarakat kampong Sendang Sono Desa Suci.

Untuk mengapresiasi ditemukan-nya sumber air (telaga suci) tersebut, masyarakat Desa Suci mengadakan semacam ritual syukuran dan riyadhoh sebagai bentuk syukur kepada Allah SWT yang hingga saat ini dirayakan oleh masyarakat Sendang Sono Desa SuciPelaksanaan-nya tepat pada hari rabu di bulan shafar. Ritual ini diekspresikan dengan mandi malam di kampung Sendang Sono—telaga suci— dilanjutkan dengan Sholat Malam. Kerena menurut para ulama’ terdahulu, pada malam itu adalah malam diturunkannya beribu-ribu macam penyakit dan selanjutnya disebut rebo wekasan.

Dalam bahasa jawa, istilah Rebo Wekasan disebut juga dengan Rebo Pungkasan yang berarti hari rabu terakhir di bulan safar. Ritual rebo wekasansendiri, dilakukan secara rutin sejak masa kejayaan Sunan Giri hingga saat ini. Karena menurut pendapat banyak ulama, pada malam rebo wekasan itu di turunkann 500 macam penyakit. Untuk mengantisipasi agar terhindar dari penyakit itu, maka para ulama menyarankan untuk malakukan tirakat dengan beribadah kepada Sang khaliqsembari berdo’a agar dijauhkan dari malapetaka pada malam itu(rebo wekasan). Berawal dari itulah masyarakat masyarakat Desa Suci berbondong-bondong rutin menggelar ritual rebo wekasan tersebut tepatnya di telaga suci itu.

Ritual rebo wekasan memberi dampak dan nilai tersendiri bagi masyarakat Desa Suci, baik bersifat ekonomi maupun keselamtan dari marabahaya. “Akibat keramaian rebo wekasan itu, banyak orang memanfaatkan momentum dengan cara berjualan dan lainnya. Bermula dari menjual sarebe (kue), kacang sampai menjual baju”, ungkap Mohammad Miftah salah satu Perangkat Desa Suci saat ditemui ALFIKR di ruang kerjanya. Akan tetapi selama lima tahun terakhir lanjut Mohamad Miftah, dalam perjalanan yang hampir mencapai lima abad, rebo wekasan mulai tercerabut dari akar tujuan dan nilai-nilai serta fungsi tradisinya. Hal ini tampak dari beberapa kegiatan-kegiatan yang semula untuk mendekat diri kepada Yang Maha Kuasa menjadi acara hiburan yang jauh dari nilai-nilai islam dan tradisi semula.

Bahkan, tidak jarang ditemukan pasangan muda-mudi bergandeng tangan bemesraan dan lainnya. Acara-acaranya pun telah diganti dengan hiburan-hiburan modern yang cenderung jauh dari nilai-nilai islam seperti orkes dangdutan, pasar malam dan lain sebagainya. Mereka sudah tidak peduli terhadap ritual-ritual yang telah diwariskan oleh leluhurnya.

“Meskipun demikian, masyarakat Desa Suci tetap berupaya melestarikan tradisi rebo wekasan sebagai warisan budaya kita dengan cara memperkenalkan tradisi rebo wekasan kepada pemuda-pemuda yang ada di Desa Suci khusunya. Carnya dengan membentuk kepanitian perayaan rebo wekasan diambil dari Organisasi Kepemudaan, Karang Taruna. Tujuannya adalah agar, para pemuda tumbuh rasa kepemilikan atas budaya rebo wekasan, walaupun di sisi lain, kita tidak bisa menghindari arus modernisasi,” kata Mohammad Miftah kepada ALFIKR.

Sementara itu, Kris Adji AW Ketua Dewan Kesenian Kabupaten Gresik, mengatakan bergesrnya nilai-nilai ritual rebo wekasan merupakan akibat dari perkembangan zaman yang semakin hari berkembang sehingga acara rebo wekasan tidak lagi ansich sebagai ritual tradisi warisan para leluhur, tapi telah berubah menjadi hiburan. “Momentum itu demikian, dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu untuk kepentingan ekonomi sehingga rebo wekasan yang semula adalah ritual menyucikan kembali jiwa kita fisik maupun non fisik, justru mengarah kepada hal yang bersifat provan atau duniawi,” katanya.

Pergeseran nilai-nilai tradisi tersebut disebabkan kurangnya pengenalan budaya terhadap generasi-generasi muda, sebagai penerus kearifan lokal. Semestinya penanaman rasa kepemilikan terhadap kebudayaan ini dilakukan sejak dini. “Kuncinya melalui pendidikan, baik itu melalui pesantren maupun sekolah. Kiai, guru dan pemerintah setempat harus mengenalkan budaya-budaya daerah para pemuda sejak dini. karena hal ini penting dilakukan dalam melestarikan budaya lokal,” ujar pria kelahiran Gresik itu kepada ALFIKR.

Dengan demikian, untuk menyikapi tergerusnya nilai-nilai budaya tersebut lanjut Kris Adji harus ada pencerahan dalam melestarikan tradisi dan budaya. Supaya tradisi yang diwariskan oleh leluhur masih tetap lestari. Hal ini dapat dilakukan misalnya, dengan cara mengemas dalam acara seminar, penulisan buku sejarah, ataupun dialog kebudayaan sehingga nantinya bukan hanya tradisi rebu wekasanyang tetap lestari. “Tapi, tradisi yang menjadi local wisdom di sebuah daerah dan daerah lain tidak memiliknya,” tambahnya.

*Tulisan ini pernah di muat di Majalah ALFIKR IAI Nurul Jadid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar