Senin, 28 Mei 2012

Serat Sindujaya Sebuah Komik Kuno?

Bacaan dengan gambar-gambar yang menarik biasanya bisadijumpai dalam komik. Tapi apakah semua cerita bergambar itu bisa disebutkomik? Apakah Serat Sindujoyo adalah sebuah komik kuno? Ternyata tidak semudahitu menguak kebenarannya. Membutuhkan semiologi Roland Barthes untuk mengungkaprelasi antara gambar dengan teks tulis dalam serat tersebut.
Hal inilah yang menjadi tema diskusi bulanan Forum StudiSastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP), Senin (23/4) lalu. Sebagai pembicara adalahMashuri, peneliti dari Balai Bahasa Surabaya yang kini sedang menuntaskan tesispada Program S2 Ilmu Sastra Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada (UGM)Yogjakarta.


Serat Sindujoyo merupakan naskah lama yang berkisah riwayathidup Kiai Sindujoyo, tokoh yang dikenal sebagai pembuka kawasan Kroman danLumpur, di Gresik, Jawa Timur. Dalamnaskah yang berisi epos kepahlawanan khas sebuah kampung di pesisir jugaterkandung unsur-unsur sastra babad karena menyangkut awal mula atau asal-usulkejadian beberapa tempat yang bisa dilacak keberadaannya hingga kini.
Serat Sindujoyo dipandang sebagai naskah sakral. Naskah itu baru bisa keluar dandibacakan di depan publik setiap tahun sekali untuk memperingati hari kematian(haul) Kiai Sindujoyo, yaitu tiap pertengahan bulan Bakda Mulud, yaitu bulankeempat dalam penanggalan Jawa dan Hijriyah. Pembacaan yang dimaksudkan adalahdengan menembangkannya karena Serat Sindujoyo ditulis dalam metrum tembangmacapat.
Naskah ‘asli’ Serat Sindujoyo hanya bisa ditemukan dikompleks makam Kiai Sindujoyo di kelurahan Lumpur di bawah pengawasan sang jurukunci Darojat. Sedangkan yang beredar di publik, yang berada di tangan tigaorang tokoh masyarakat adalah fotokopian.
Naskah Serat Sindujoyo disinyalir berbeda dengan naskahpesisir lainnya. Kekhasan tersebut bukan hanya dari sisi puitika saja yangdisinyalir memiliki perbedaan dengan naskah bukan pesisir, tetapi juga darisudut pandang ilmu kodikologi (pernaskahan), struktur teks, unsur-unsur pembentuknya, serta komposisinaskahnya.
Dalam khasanah naskah Jawa pesisir jarang dijumpai naskahyang dilengkapi dengan gambar-gambar ilustrasi yang begitu dominan. Naskah Serat Sindujoyo terdiri dari dua teksyaitu teks tertulis dan teks tergambar berupa ilustrasi. “Mengacu konsep teksdari Roland Barthes, ilustrasi juga disebut sebagai teks,” kata Mashuri dalamdiskusi bulanan Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP), Senin (23/4)lalu.
Teks tergambarnya demikian dominan. Dari 188 halaman naskahSerat Sindujoyo, 107 di antaranya berisi ilustrasi, 76 halaman berisi ilustrasipenuh. Selain itu, ada ilustrasi yang disisipkan di antara teks tertulis, baikberada di bawah teks tertulis maupun di tengah teks tertulis. Penulis teksnyaadalah Kiai Tarub, sedangkan penggambar, penyungging atau ilustratornya adalahKiai Buder.
“Apakah itu tidak seperti ilustrasi saja, yang selalu adadalam komik,” tanya Suryadi, dosen Universitas Ciputar Surabaya. Mashuri punmenerangkan, proporsi ilustrasi dalam Serat Sindujoyo hampir sama dengan tekstertulisnya. Ilustrasi dalam Serat Sindujoyo tersebut tidak bisa dilepaskandari teks sebagaimana komik atau kartun yang masuk genre fiksi rupa karenailustrasi tersebut untuk menegaskan atau menerangkan cerita dalam teks.
“Pada awalnya saya juga menduga seperti itu. Tapi ternyata,ilustrasi dalam serat itu tidak sekadarmelangkapi teks tulisnya. Namun teks tulis dan teks gambar tersebut itu salingmelengkapi. Nah, relasi akan menguak banyak hal,” terang Mashuri. Posisiilustrasi menyusun sebuah kerangka tersendiri sebagai sebuah konfigurasi tandadan memiliki relasi yang cukup kuat dengan struktur cerita. Ilustrasi itu jugadisertai keterangan tentang lakuan tokoh, profil, latar dan lainnya yang sesuaidengan narasi tertulis.
Lebih lanjuit diterangkan, hingga kini keberadaan tekstergambar dalam naskah itu belum mengalami keterbacaan yang memadai karenailustrasi hanya dipandang sebagai hiasan naskah, apalagi kajian relasi dansaling pengaruh antara teks sastra dan teks tergambar yang berbasis naskah diIndonesia masih jarang.
“Teks tergambar Serat Sindujoyo merupakan metabahasa dariteks tertulisnya. Hal itu mengacu pada perluasan wilayah ekspresi dalamkerangka sistem penandaan Barthes, yang terdiri dari ekspresi, isi dan relasi.Untuk menukik ke hal-ihwal itu maka harus dikenali lebih dulu tentang kerangkasemiologi Barthes, yang di dalamnya terdapat beberapa kerangka pemikiran mulaidari metabahasa, konotasi-denotasi, dan mitos,” papar Mashuri.
Kata Mashuri, konsep lain dari Barthes yang terkait dengankonotasi dan metabahasa adalah teori mitos. Pada awalnya, gagasan mitos dalamsistem penandaan Barthes digunakan sebagai kritik pada budaya massa. “Hanyasaja, pada kesempatan ini, mitos dipahami dalam kapasitasnya sebagai sistempenandaan yang melibatkan ideologi di dalamnya,” jelas pria asal Lamongan ini.
Jika dirunut, sistem mitos Barthes berpangkal pada konotasi.Ketika dalam penandaan sistem kedua itu melibatkan ideologi, maka ia menjadimitos. Konsepnya hampir sama dengansistem konotasi, hanya saja kerangkanya adalah adanya relasi antara sistemtanda itu dengan unsur-unsur ideologi antara pembuat tanda dan penerimanya. Halitu karena mitos dipahami sebagai sebuahsistem komunikasi dan wacana, yang di dalamnya terdapat pesan. zaki zubaidi
 ( Baca juga artikel terkait DI SINI)
Gambar Serat Sindujaya (dokumen Mataseger)
Sumber : Ruang Kosong 13

1 komentar:

  1. wah jadi teringat tulisan tentang kitab Sindujoyo yang satu ini http://www.tulisanjanuar.blogspot.com/2013/05/mengenal-kitab-sindujoyo-gresik-asli.html

    BalasHapus