Ini bukan sembarang kolak karena tidak terbuat dari pisang, labu, atau ketela. Kolak ini terbuat dari ayam kampung, gula merah, jinten, daun bawang merah, dan santan kelapa. Yang memasak pun harus laki-laki. Tradisi kolak ayam di Desa Gumeno, Kecamatan Manyar, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, telah berlangsung selama lima abad. Kolak ayam awalnya berfungsi sebagai obat.
Tradisi kolak ayam sekaligus menjadi warisan dari kekayaan budaya bangsa di Nusantara dan hingga kini sudah berlangsung 487 tahun. Tradisi itu juga merekatkan kebersamaan, khususnya saat berbuka puasa di hari ke-22 atau malam ke-23 setiap Ramadhan.
Ratusan warga sekitar serta dari luar kota, seperti Lamongan, Surabaya, Tuban, Bojonegoro, Sidoarjo, dan Kediri, yang penasaran biasanya sudah berkumpul di Masjid Jami’ Sunan Dalem Desa Gumeno sejak pukul 16.00. Ramadhan tahun ini tradisi itu berlangsung pada Sabtu (11/8) lalu.
Jika dulu kolak ayam disajikan dalam piring, kini untuk kepraktisan panitia mengemasnya dalam plastik ditambah ketan putih, kurma, dan air putih. Panitia membagi satu paket kolak ayam saat warga masuk masjid sambil menunggu waktu berbuka. Begitu beduk ditabuh dan azan maghrib dikumandangkan, warga pun menyantap kolak ayam yang dibagikan. Rasanya manis legit, aroma jinten, gula merah, dan daun bawang sangat terasa.
Tahun ini, panitia memasak 223 ayam, meningkat dibandingkan dengan tahun lalu yang hany 175 ayam kampung. Bahan lain yang digunakan adalah 600 butir kelapa, 1,5 kuintal daun bawang merah, 400 kg gula merah, dan 30 kg jinten.
Menurut Ketua Masyarakat Pencinta Sejarah dan Budaya Gresik Kris Aji, kolak ayam potensial dikembangkan sebagai kuliner lokal rasa global. Kolak ayam bukan hanya sebagai obat atau bagian dari budaya Gresik, melainkan juga merupakan kekayaan bangsa.
Ia mencontohkan nasi krawu khas Gresik. Saat ini, ada yang mengembangkannya menjadi burger krawu, bahkan sudah ada cabang di Surabaya dan rencananya dikembangkan di Yogyakarta dan Jakarta.
Kolak ayam bisa saja dimasyarakatkan dan dikembangkan dalam bentuk kuliner, bukan hanya untuk kebutuhan tradisi ritual tahunan saat Ramadhan, melainkan juga bisa menjadi potensi ekonomi.
”Namun, tradisi sanggringan-nya di Gumeno tetap harus dipertahankan, seperti yang masak harus laki-laki. Kita harus gali budaya tradisi menjadi ikon baru. Bukan hanya melestarikannya, melainkan juga mengembangkannya. Kalau bisa, kolak ayam, dari tradisi lokal bisa menjadi mengglobal,” ujar Kris.
Tradisi lima abad
Tokoh masyarakat Gumeno, Nadhim Umuri, menuturkan, awal mula kolak ayam ini muncul ketika Sunan Dalem sakit. Sunan Dalem memerintahkan warga mengupayakan obat agar sakitnya bisa sembuh. Setelah ke sana kemari dicarikan obat tak kunjung sembuh, saat penduduk bingung, Sunan Dalem mendapat petunjuk dari Allah SWT agar membuat masakan untuk obat.
Esok harinya Sunan Dalem membawa seekor ayam jago berumur sekitar setahun atau jago lancur. Akhirnya, penduduk memasak ayam itu dengan santan kelapa, jinten, gula merah, dan bawang daun. Setelah masakan jadi, Sunan Dalem meminta warga membawa nasi dan ketan yang sudah masak. Saat itu bulan puasa. Ketika tiba waktu maghrib, semua penduduk berbuka bersama di masjid dengan makanan yang sudah disiapkan itu.
Sunan Dalem pun kemudian sembuh setelah makan kolak ayam atau sanggring. Sanggring berasal dari kata sang yang berarti ’raja’ atau ’penggedhe’ dan gering artinya ’sakit’. Sanggring berarti ’raja yang sakit’.
Pada waktu penduduk Gumeno bergotong royong membuat kolam di timur masjid sebagai tempat wudu, Sunan Dalem memerintahkan membuat kolak ayam sebagai jamu untuk mengganti tenaga penduduk yang bekerja membuat kolam. Penduduk yang membantu membuat kolam cukup banyak. Dikhawatirkan ayamnya tidak cukup, Sunan Dalem memerintahkan agar daging ayam itu disuwir-suwir. Itulah sebabnya kolak ayam juga kemudian dibuat dalam bentuk suwiran.
Kolak ayam berasal dari kholaqul ayyam, yang berarti ’mencari berhari-hari’. Sunan Dalem kesulitan memberi nama ”jamu” tersebut. Akhirnya, kolak ayam menjadi nama yang diabadikan sampai kini.
Proses memasak kolak ayam pertama kali dilaksanakan pada 22 Ramadhan 946 Hijriah atau 31 Januari 1540. Pada masa itu, Sunan Dalem juga berwasiat kepada penduduk agar setiap malam ke-23 Ramadhan disiapkan kolak ayam atau sanggring.
Komposisi bumbu untuk setiap ekor kolak ayam disediakan 2 kilogram bawang daun yang aromanya menyengat, 2 kg gula merah, dan 1 ons jinten. Jinten disanggrai lalu ditumbuk agar rasa dan aromanya tidak hilang. Jumlah dan kualitas jinten berpengaruh pada rasa dan aroma masakan. Semakin banyak dan bagus kualitas jinten, kolak ayam terasa semakin enak.
Dimulai sejak 21 Ramadhan
Dalam merayakan buka puasa bersama dengan kolak ayam, pada 21 Ramadhan masyarakat sudah menyiapkan bahan-bahan yang dibutuhkan. Setelah shalat ashar, ayam yang disiapkan itu disembelih. Malam harinya ayam dimasak, tetapi bagian jeroan, kepala, dan kaki tidak dimanfaatkan.
Daging ayam dimasak dalam beberapa kuali besar sampai lunak. Setelah masak, daging dikumpulkan pada suatu wadah, sedangkan kaldunya disimpan.
Keesokan paginya, para pemuda dan anak laki-laki menyuwiri daging ayam yang sudah dimasak hingga ukurannya kecil-kecil.
Tulang dan daging ayam dipisahkan. Sementara itu, pria dewasa dan juru masak menyiapkan adonan gula merah, santan, dan daun bawang merah. Memasaknya di atas kuali besar di sembilan tungku. ”Banyaknya kolak ayam menyebabkan proses masaknya dilakukan bertahap,” kata Nadhim, pria dewasa yang ikut memasak.
Begitulah, tradisi sanggringan, yang lima abad tak lekang oleh zaman. Tradisi yang dipertahankan dan dilestarikan. Kolak ayam bukan sekadar obat, melainkan juga sarana mempererat silaturahim, mengukuhkan kebersamaan.
OLEH ADI SUCIPTO KISSWARA (Kompas)
Tulisan terkait baca di sini
mantap iki tulisane
BalasHapusbudaya memang wajib dilestarikan. silahkan kunjungi blog saya ya http://fokuz9.blogspot.com/ ada cerita soal damar kurung gresik
BalasHapus