1483 diyakini sebagai angka keramat oleh
masyarakat Desa Suci. tanpa angka keramat itu, mungkin Desa Suci tak seramai
sekarang. Munculnya nama Suci tidak jauh dari angka keramat tersebut.
Berawal dari sebuah perintah Sunan Giri kepada
Syeikh Jamaluddin Malik yang masih kerabat dekatnya sekaligus muridnya. Konon
ia diperintahkan oleh Sunan Giri untuk menyebarkan agama islam ke Barat Kota
Gersik. Dengan niat tulus, sekitar pada tahun 1483 beliau berangkat ke tempat
tujuan. Dalam mengemban tugas mulia tersebut, tidak jarang di perjalanan syeih
Jamaluddin Maik mendapat beberapa rintangan yang tidak mudah dihadapinya, yaitu
termasuk kondisi sosial dan cuaca alam yang tidak mendukung untuk seorang
perantauan.
Sesampai ditempat tujuan, ia tinggal di Kampung
Polaman, salah satu kampung yang ada di barat Kota Gersik. Setelah mengenal dan
memahami kondisi sosial masyarakat setempat, ia mulai mendirikan sebuah Masjid
sebagai tempat beribadah dan tempat untuk mengajarkan ilmu agama kepada
masyarakat. Setelah Masjid selesai dibangun, Syeikh Jamaluddin Malik membuat
sumur untuk kebutuhan bersesuci dan lainnya. Berkat karomah yang dimilikinya, air
pun dengan mudah menyembur deras. Dari saking derasnya, air mengalir
kemana-mana. Melihat air yang begitu banyak, masyarakat sekitar
berbondong-bondong datang ke Masjid guna untuk memanfaatkan sumber air
tersebut.
Berawal dari itulah, nama sumur itu diabadikan oleh
penduduk sekitar, dengan diberi nama Sumur Gede yang berarti
Sumur Besar walaupun ukurannya tidak jauh berbeda dengan sumur pada umumnya.
Tapi karena besar manfaatnya, maka sumur tersebut diberi namai Sumur Gede. Di
sebelah Sumur tersebut, terdapat pohon asam yang tinggi menjulang. Karena buah
asam itu manis, maka nama pohon asam itu, diabadikan oleh masyarakat menjadi
nama kampung, yaitu kampung Asemanis.
Karena di Desa Asemanis semakin hari semakin ramai,
maka kebutuhan kepada air secara otomatis semakin bertambah, sementara
persediaan air yang ada semakin menipis. Tak lama kemudian, Syeih Jamaluddin
menemui Sunan Giri untuk berkonsultasi bagaimana cara mengatasi
problem yang dihadapi masyarakat itu. Melalui petunjuk Sunan Giri ia menelusuri
lereng bukit yang ada disebelah utara kampong polaman. Di sela-sela pohon yang
rimbun Syeikh Jamaluddin menemukan sumber air yang jernih dan besar. Air
tersebut cukup dipakai untuk bersuci menurut ketentuan agama sehingga akhirnya
tempat itu dinamakan Desa Suci.
Setelah ditemukannya air tersebut, maka Masjid yang
dibangun di Kampung Polaman atau Asemanis, dipindah ketempat dimana air itu
ditemukan atas saran Sunan Giri. Selanjutnya, Masjid itu diberi nama Raudhatus
Salam tepatnya di depan sumber air suci yang ditemukan Syeh Jamaluddin Malik.
Karena kualitas dan uniknya, maka sumber air suci itu, disebut telaga suci oleh
masyarakat kampong Sendang Sono Desa Suci.
Untuk mengapresiasi ditemukan-nya sumber air (telaga
suci) tersebut, masyarakat Desa Suci mengadakan semacam ritual syukuran dan
riyadhoh sebagai bentuk syukur kepada Allah SWT yang hingga saat ini dirayakan
oleh masyarakat Sendang Sono Desa Suci. Pelaksanaan-nya tepat pada
hari rabu di bulan shafar. Ritual ini diekspresikan dengan mandi malam di kampung
Sendang Sono—telaga suci— dilanjutkan dengan Sholat Malam. Kerena menurut
para ulama’ terdahulu, pada malam itu adalah malam diturunkannya beribu-ribu
macam penyakit dan selanjutnya disebut rebo wekasan.
Dalam bahasa jawa, istilah Rebo Wekasan disebut juga
dengan Rebo Pungkasan yang berarti hari rabu terakhir di bulan safar.
Ritual rebo wekasansendiri, dilakukan secara rutin sejak masa
kejayaan Sunan Giri hingga saat ini. Karena menurut pendapat banyak ulama, pada
malam rebo wekasan itu di turunkann 500 macam
penyakit. Untuk mengantisipasi agar terhindar dari penyakit itu, maka para
ulama menyarankan untuk malakukan tirakat dengan beribadah
kepada Sang khaliq, sembari berdo’a agar dijauhkan dari malapetaka
pada malam itu(rebo wekasan). Berawal dari itulah masyarakat masyarakat
Desa Suci berbondong-bondong rutin menggelar ritual rebo wekasan tersebut
tepatnya di telaga suci itu.
Ritual rebo wekasan memberi dampak
dan nilai tersendiri bagi masyarakat Desa Suci, baik bersifat ekonomi maupun
keselamtan dari marabahaya. “Akibat keramaian rebo wekasan itu,
banyak orang memanfaatkan momentum dengan cara berjualan dan lainnya.
Bermula dari menjual sarebe (kue), kacang sampai menjual
baju”, ungkap Mohammad Miftah salah satu Perangkat Desa Suci saat ditemui
ALFIKR di ruang kerjanya. Akan tetapi selama lima tahun terakhir lanjut
Mohamad Miftah, dalam perjalanan yang hampir mencapai lima abad, rebo
wekasan mulai tercerabut dari akar tujuan dan nilai-nilai serta fungsi
tradisinya. Hal ini tampak dari beberapa kegiatan-kegiatan yang semula untuk
mendekat diri kepada Yang Maha Kuasa menjadi acara hiburan yang jauh dari
nilai-nilai islam dan tradisi semula.
Bahkan, tidak jarang ditemukan pasangan muda-mudi
bergandeng tangan bemesraan dan lainnya. Acara-acaranya pun telah diganti
dengan hiburan-hiburan modern yang cenderung jauh dari nilai-nilai islam
seperti orkes dangdutan, pasar malam dan lain sebagainya. Mereka
sudah tidak peduli terhadap ritual-ritual yang telah diwariskan oleh
leluhurnya.
“Meskipun demikian, masyarakat Desa Suci tetap
berupaya melestarikan tradisi rebo wekasan sebagai warisan
budaya kita dengan cara memperkenalkan tradisi rebo wekasan kepada
pemuda-pemuda yang ada di Desa Suci khusunya. Carnya dengan membentuk
kepanitian perayaan rebo wekasan diambil dari Organisasi
Kepemudaan, Karang Taruna. Tujuannya adalah agar, para pemuda tumbuh rasa
kepemilikan atas budaya rebo wekasan, walaupun di sisi lain, kita
tidak bisa menghindari arus modernisasi,” kata Mohammad Miftah kepada
ALFIKR.
Sementara itu, Kris Adji AW Ketua Dewan Kesenian
Kabupaten Gresik, mengatakan bergesrnya nilai-nilai ritual rebo wekasan merupakan
akibat dari perkembangan zaman yang semakin hari berkembang sehingga
acara rebo wekasan tidak lagi ansich sebagai
ritual tradisi warisan para leluhur, tapi telah berubah menjadi hiburan.
“Momentum itu demikian, dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu untuk
kepentingan ekonomi sehingga rebo wekasan yang semula adalah
ritual menyucikan kembali jiwa kita fisik maupun non fisik, justru mengarah
kepada hal yang bersifat provan atau duniawi,” katanya.
Pergeseran nilai-nilai tradisi tersebut disebabkan
kurangnya pengenalan budaya terhadap generasi-generasi muda, sebagai penerus
kearifan lokal. Semestinya penanaman rasa kepemilikan terhadap kebudayaan ini
dilakukan sejak dini. “Kuncinya melalui pendidikan, baik itu melalui pesantren
maupun sekolah. Kiai, guru dan pemerintah setempat harus mengenalkan
budaya-budaya daerah para pemuda sejak dini. karena hal ini penting dilakukan
dalam melestarikan budaya lokal,” ujar pria kelahiran Gresik itu kepada ALFIKR.
Dengan demikian, untuk menyikapi tergerusnya
nilai-nilai budaya tersebut lanjut Kris Adji harus ada pencerahan dalam
melestarikan tradisi dan budaya. Supaya tradisi yang diwariskan oleh leluhur
masih tetap lestari. Hal ini dapat dilakukan misalnya, dengan cara mengemas
dalam acara seminar, penulisan buku sejarah, ataupun dialog kebudayaan sehingga
nantinya bukan hanya tradisi rebu wekasanyang tetap lestari. “Tapi,
tradisi yang menjadi local wisdom di sebuah daerah dan daerah
lain tidak memiliknya,” tambahnya.
*Tulisan ini pernah di muat di Majalah ALFIKR IAI
Nurul Jadid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar